Suasana ini begitu nyaman, asri, sejuk, indah dan damai bagiku. Suasana
yang tak pernah kujumpai dimana pun itu. Pesantren. Ya, itu suasana
pesantren. Suasana yang sudah lama aku inginkan.
Sungguh aku tak percaya aku bisa berada disini sebagai santri. Bukan
karena paksaan dari orang tua seperti kebanyakan yang terjadi. Melainkan
murni karena keinginanku sendiri. Walau sempat ditentang orang tua
karena beberapa alasan, hatiku tetap kekeh untuk nyantri yang insyaAlah
semata-mata mengharap ridho Ilahi. Alhamdulillah.. trimakasih atas
nikmat yang indah ini YaAllah..
“Khoirunnisa?” Tanya seorang gadis cantik, berjilbab rapi yang sepertinya santri disini.
“Iya ukhti” Jawabku dengan menganggukkan kepala.
“Saya Lailtul Istiqomah, saya diutus Umi Sarah untuk mengantarmu bertemu beliau”
“Umi Sarah?” Tanyaku.
“Iya, beliau istri dari kyai dipesantren ini”
“MasyaAllah.. maaf ukhti, saya belum tau”
Akupun mengikuti ukhti Lailatul Istiqomah.
“Assalamu’alaikum umi ”
“Wa’alaikumsalam. Duduk nduk ” Jawab wanita yang aku rasa ini Umi Sarah.
“Umi, ini Khoirunnisa” Ucap ukhti Lailatul Istiqomah sambil
menunjuk ke arahku. Akupun tersenyum dan segera mencium tanggan beliau
yang memang benar Umi Sarah, istri dari kyai di pesantren ini.
“Oh Khoirunnisa, MasyaAllah cantik sekali kamu nduk ”
“Trimaksih Umi” Jawabku dengan tersenyum malu.
“Neng Ila, neng Nisa ini biar dikamarmu saja ya nduk, dia
baru pertama kali nyantri, jadi umi minta tolong bantu neng Nisa untuk
mengenal pesantren ini. Dan neng Nisa, ini neng Ila. Neng Ila ini sudah
cukup lama nyantri disini, jika ada sesuatu tanyakan saja.” Tutur Umi
Sarah kepadaku dan Ukhti Ila.
“Baik Umi, InsyaAllah” Jawab ukti Ila , sambil tersenyum kepadaku.
Akupun ikut membalas senyum Ukhti Ila dan Umi Sarah.
**
Cerpen Islami : Romantika Cinta di Pesantren
“Nisa, ini kamar kita. Dikamar ini hanya kita berdua. Kamu tau kan,
ini bukan pesantren besar. Dipesantren ini hanya ada 20 kamar dan setiap
kamar hanya diisi dengan 5 santri saja.”
“Lalu kenapa hanya Ukhti yang tinggal sendiri?” Tanyaku.
“Sebenarnya kamar ini khusus untuk santri senior. Dulu dikamar ini malah
lebih dari 5 santri. Tapi seiringnya waktu, mereka meninggalkan
pesantren ini, karena mereka harus menjalankan kewajibannya sebagai
seorang istri. Mereka telah menikah Nisa.” Terang ukhti Ila kepadaku.
“Kalau ukhti, kapan nikahnya?” Candaku , sambil meletakkan pakaian ke lemari.
“Ukhti masih sekolah Nisa. Ukhti juga masih ingin
melanjutkan sekolah kelak. Ya, do’akan saja lah.” Jawab Ukhti Ila dengan
senyum manisnya.
Ukhti Ila memang gadis yang baik. Dia mudah sekali untuk akrab denganku.
Aku bersyukur, hari pertamaku dipesantren, aku sudah mendapatkan
sahabat sekaligus sosok kakak bagiku yang sungguh baik.
Hari-hariku dipesantren terasa indah. Saat ini aku duduk di kelas 1
aliyah. Atau yang biasa dikenal dengan istilah SMA. Karena aku tergolong
baru dengan ilmu-ilmu pesantren, aku cukup kesulitan dalam mempelajari
kitab-kitab yang notabennya menggunakan bahasa arab.
Alhamdulillah ukhti ila selalu membantu ketika aku kesulitan dalam
mempelajari sesuatu, termasuk kitab-kitab itu. Ukhti Ila saat ini duduk
di kelas 3 aliyah. Dia cukup pintar di pesantren ini. Banyak
prestasi-prestasi yang ia peroleh. Selain itu ukhti Ila juga baik sekali
denganku. Ia yang selalu memberi semangat untukku ketika aku merasa
lelah dengan kegiatan-kegiatan pesantren, ia juga yang selalu
menghiburku ketika aku rindu dengan keluargaku. Sungguh ku beruntung
telah mengenalnya.
**
Hari ini hari minggu. Seperti umumnya, sekolah libur. Kegiatan
pesantrenpun baru dimulai sore hari. Waktu lenggang ini digunakan para
santri untuk beberapa hal. Diantaranya, ada yang memanfaatkan waktu
lenggang ini dengan belajar, ada yang mengaji, ada yang mencuci dan
bahkan ada yang memanfaatkan waktunya untuk tidur.
“Pakaian sudah ku cuci, belajar sudah, mengajipun sudah. Lalu aku harus apa ya?” Gumamku sambil mencari kesibukan.
Aku memang orang yang tidak bisa untuk tidak melakukan sesuatu.
Karenanya aku selalu ingin mencari sesuatu untuk menyibukanku. Terlihat
ukhti Ila berjalan di depan pintu. Aku berteriak memanggilnya.
“Ukhti…. ”
Ukhti ila yang mendengar panggilanku langsung berbalik arah ke tempatku memanggil.
“Ada apa Nisa?”
“Ukhti mau kemana?”
“Mau membantu Umi Sarah menyiapkan tasyakuran untuk putra bungsungnya yang baru datang dari Al-Azhar Cairo”
“Nisa boleh ikut ndak ukhti?” Tanyaku dengan penuh harap.
“Nisa, kamu santri baru, ndak enak kalau sudah menyuruhmu ”
“Sudahlah ukhti. Lets go.” Langsung kutarik tangan ukhti ila
untuk bergegas menuju rumah Umi Sarah yang letaknya tidak jauh dari
kamar kami.
“Assalamu’alaikum Umi”
“Wa’alaikumsalam. Lho ada neng Nisa, ada perlu apa Neng?” Tanya umi Sarah kepadaku.
“Maaf Umi, Nisa yang memaksa” Jawab ukhti Ila dengan perasaan bersalahnya.
“Nisa ingin ikut membantu umi disini, Nisa juga sedang tidak
ada kesibukan umi, Nisa itu anaknya ndak bisa diam umi ”
“Tapi Nisa……..”
“Nisa tidak apa Umi, boleh ya..” Rayuku kepada Umi Sarah.
“Baiklah. Ayo masuk ” Umi Sarahpun menyetujui.
Aku dan ukhti ila masuk ke dalam rumah umi sarah. Dikediaman umi sarah
sudah banyak santri yang membantu. Aku mendapat tugas membuat minuman
untuk semua yang membantu umi disini.
“Neng Nisa, tolong buatkan minuman untuk semua yang disini
ya nduk. Dapur umi disana ” Ucap Umi Sarah sambil menunjuk arah
dapurnya.
“Baik umi” Jawabku dengan semangat.
Sesampainya di dapur, aku langsung memasak air dan menyiapkan beberapa gelas.
“Dimana ya?” Lirihku sambil membuka pintu-pintu lemari yang ada.
“Cari apa ukhti?” Suara itu terdengar dari arah belakangku.
Akupun bergegas berbalik untuk melihat siapa yang menanyaiku.
“Subhanallah… tampan sekali, siapa pemuda ini?” Gumamku dalam hati.
“Cari apa ukhti?” Tanya pemuda itu kembali.
“Astagfirullah… maaf, saya mencari gula dan teh” Jawabku dengan gugup
“Oh.. itu dilemari sana” Sambil menunjuk lemari yang dimaksud.
“Baik, terimakasih”
“Afwan” Pemuda itu berbalik keluar meninggalkan dapur.
“Subhanallah… sungguh indah ciptaanMU yaRobb ”
#BRAKK…… suara jendela yang tertutup keras karna dorongan angin, mengangetkanku.
“Astagfirullah… Ampuni hamba YaAllah…” Segera kuselesaikan tugasku.
“Umi ini minumannya ”
“Terimakasih ya nduk. Ayo anak-anak diminum dulu” Kata umi
sambil menyuruh santri yang membantu untuk beristirahat sejenak dengan
meminum teh yang kubuatkan.
Selesai membantu umi Sarah, kami para santri kembali ke kamar masing-masing untuk melakukan rutinitas seperti biasa.
Rutinitas pesantren telah dimulai. Namun ada yang berbeda pada rutinitas
malam ini. Ba’da isya’ yang biasa diisi dengan pengajian kitab kuning
kini menjadi pengajian akbar dan acara tasyakuran untuk putra bungsu
Kyai Ahmad.
Diawal sebelum acara dimulai, Kyai Ahmad memperkenalkan putranya
dihadapan para santri. Aku yang pada saat itu berada di shaf putri
paling depan melihat sosok yang diperkenalkan Kyai Ahmad dan teringat
sesuatu.
“Pemuda itu kan yang tadi di dapur? ” Lirihku.
“Ukhti, pemuda itu putra Kyai Ahmad yang dari Cairo? ” Tanyaku kepada ukhti Ila yang berada di sampingku.
“Iya Nisa. Kenapa? Tampan ya?”
“Iiya Ukhti. Tampan sekali. Wajah teduhnya seperti
memancarkan keimanan. Sungguh beruntung Kyai Ahmad dan Umi Sarah ya
ukhti.” Sahutku sambil memandangi pemuda yang saat ini masih di depan
mimbar dengan Kyai Ahmad.
“Yang lebih beruntung nanti adalah istrinya Nisa. Benar
katamu, dia pemuda yang berakhlak baik, dan kamu tau Nisa, dia juga
Hafidz Qur’an.”
“Subhanallah... Ukhti serius?” Tanyaku penasaran.
“Iya Nisa. Namanya Fahri. Dia lulusan terbaik Al-Azhar.
Banyak sudah yang menawarkan pekerjaan untuknya. Dan gaji yang
ditawarkan tak tanggung-tanggung hingga puluhan juta per bulan. Tapi
Fahri seorang yang berbeda. Dia lebih memilih meneruskan perjuangan
abahnya untuk pesantren ini” Jelas ukhti Ila panjang.
“Ukhti, Nisa rasa Nisa mencintainya ”
Mendengar pernyataanku, ukhti ila terlihat terkejut. Ia menatapku tajam.
“Kenapa ukhti?” Tanyaku sambil menatap wajah ukhti ila yang terlihat tegang.
“Astagfirullah.. maaf Nisa, ndak apa kok.” Jawab ukhti Ila dan langsung memalingkan wajahnya.
Entah apa yang terjadi pada saat itu. Aku juga tak tau pasti kenapa
ukhti Ila terlihat seperti itu. Ketika ku tanyapun ukhti ila hanya
menggeleng-gelengkan kepala. Pada saat itu aku hanya dapat berprasangka
baik terhadap Allah, terhadap perasaanku dan terhadap ukhti Ila.
Semenjak itu, aku sering sekali bertanya kepada ukhti Ila mengenai mas
Fahri. Karena memang Ukhti Ila mengenal mas Fahri sejak berusia 8 tahun.
Ya, ukhti ila memang sudah lama nyantri disini. Itu sebabnya Ukhti Ila
akrab sekali dengan keluarga Kyai Ahmad. Ukhti Ila tau betul sifat-sifat
yang dimiliki Mas Fahri. Dan akupun mengetahui banyak hal mengenai mas
Fahri dari ukhti Ila. Hampir setiap hari kami membicarakan mas Fahri.
Semua yang diceritakan ukhti ila menambah kekagumanku terhadap mas
Fahri.
Mas Fahri kini menjadi guru bahasa arab di kelasku. Sungguh ketika itu
aku bahagia sekali. Aku bisa sering bertemu dengan mas Fahri. Tapi aku
selalu ingat pesan ukhti Ila kepadaku, agar jangan sampai nafsu
menguasai diriku, dan menjadikan cinta ini menjadi cinta yang berasal
dari nafsu bukan dari Allah. Subhanaallah... ukhti ila memang gadis yang
baik, pandai, bijaksana lagi.
Ternyata Mas Fahri adalah seorang yang mudah akrab dengan siapa saja,
termasuk aku. Semakin lama aku semakin akrab dengan Mas Fahri. Setiap
keakrabanku dengan Mas Fahri selalu kuceritakan kepada Ukhti Ila. Dan
ukhti Ila selalu menjadi pendengar setiaku hampir setiap malam. Tak lupa
juga ukhti ila menasehati dalam setiap langkahku. Itu yang membuatku
betah bercerita lama dengan ukhti Ila. Karena ia selalu sabar
mendengarkanku. Tak henti-hentinya hati ini mengucap syukur kepada Allah
atas nikmat yang indah ini.
**
“Kenapa sepi ya? Nisa ndak ingin cerita ni sama Ukhti?” Tanya ukhti ila memecah keheninggan kamar, sambil memindahkan barang-barangnya ke tas yang akan ia bawa pulang esok.
“Ndak mau! Nisa ingin istirahat saja.” Jawabku dengan nada sedikit marah.
“Ya sudah, selamat tidur adikku. Jangan lupa berdo’a dulu” Kalimat yang hampir setiap malam ukhti ila tuturkan kepadaku.
Malam ini sulit untukku memejamkan mata. Saat kulihat jam dinding, waktu menunjukkan pukul 02.30.
#KREKK…. Suara pintu terbuka.
Segera ku tutup mataku kembali, dan berpura-pura tidur. Aku tau itu Ukhti Ila, karena Ukhti ila memang rajin sekali untuk sholat malam.
YaAllah YaRobb
Malam ini aku bersimpuh kepadaMU
Tiada daya dan upaya selain atas izinMU
Izinkan aku berlutut menghadapMu
Izinkan aku bermunajah kepadaMu
Serta izinkan aku menangis karnaMU
Wahai dzat yang mampu membolak-balikan hati
Sungguh hati ini sakit ketika melihat sahabat kita sendiri mencintai orang yang juga kita cintai
Karenanya,
Balikkan rasa sakit dihati ini
Jadikan rasa ini menjadi rasa ikhlas karnaMU
Sungguh ku percaya takdir cintaku berada ditanganMU
Ilahi
Aku menyayangi Nisa melebihi sayangku kepada Fahri
Namun takkan mengurangi rasa sayang dan cintaku terhadapMu
Sungguh ku tak sanggup menyakitinya
Ku tak ingin melihat sedihnya
Ku tak ingin ada tangisan darinya
Jangan biarkan senyumnya berganti dengan kesedihan
Dan jangan biarkan tawanya berganti menjadi tangisan
Karna ku tak sanggup untuk melihatnya
Tak terasa air mata ini mengalir deras dipipiku. Tak sanggup lagi rasanya aku mendengar do’a ukhti Ila. Segera ku beranjak dari tempat tidur mendekati ukhti Ila yang saat itu masih menenakan mukenah putihnya.
“Kenapa ukhti ndak pernah cerita? ” Tanyaku.
“Cerita apa Nisa?”
“Ukhti, Nisa mendengar semua do’a ukhti. Hati Nisa teriris sakit. Nisa merasa menjadi orang yang paling bodoh. Nisa sudah lama mengenal ukhti, tapi kenapa Nisa baru mengetahuinya sekarang? Maafkan Nisa ukhti, Maafkan Nisa….”
Tangisan ini makin menjadi.
“Nisa, dengarka Ukhti. Melihat tawa Nisa sudah merupakan bahagia untuk ukhti. Selama ini ukhti sendirian. Sejak kehadiran Nisa, ukhti merasa ada yang berbeda dikehidupan ukhti. Ukhti merasa mempunyai teman, ukhti merasa mempunyai seorang adik dan ukhti merasa bahagia sekali. Ukhti rela melakukan apa saja asal Nisa bahagia. Karena bahagia Nisa adalah bahagia ukhti ”
Tanpa berkata apapun, langsung ku peluk ukhti ila dengan tangisku.
YaRobb…
Mungkin banyak yang KAU sayang di dunia ini
Karena memang KAU maha penyayang
Namun saat ini,
Akulah yang merasa paling KAU sayang
KAU tunjukkan rasa sayangMU dengan menghadirkan Ukhti Ila di kehidupanku
Berkahi hidupnya YaAllah
Berikan kemudahan disetiap langkahnya
Serta jadikan ia hamba pilihanMU
**
Pagi yang cerah. Namun tak secerah perasaanku. Sungguh hatiku ingin menjerit dan mengatakan
“Jangan pergi ukhti.. jangan pergi”
Namun kemantapan Ukhti Ila membuatku tak berdaya serta membuatku tak mampu untuk mengatakannya. Kesedihan ini tak hanya aku yang merasakan. Semua santri juga merasakannya. Ukhti Ila memang sosok yang dikagumi hampir semua santri karena kebaikan dan kebijaksaannya. Umi Sarah dan Aba Ahmad juga menyayangkan kepergian santri kesayanganya itu. Namun ini semua adalah pilihan Ukhti Ila. Hanya Allah yang dapat menghentikannya.
“Kamu mau kemana Ila?” Tanya seorang pemuda.
“Mas Fahri?” Jawab Ukhti Ila terkejut.
“Kenapa kamu tidak memberitahuku sama sekali? Apa kamu sudah lupa dengan teman kecilmu ini?”
Ukhti Ila hanya terdiam dan menunduk mendengar mas fahri berbicara.
“Lailatul Istiqomah, dihadapan aba dan umiku, dihadapan santri-santri disini, serta di hadapan Allah tentunya, aku ingin mengatakan aku sungguh mencintaimu. Dan aku ingin engkau menjadi yang halal bagiku karna Allah. Aku ingin meminangmu karena kerendahan hatimu, karena keindahan akhlakmu, karena kehalusan tutur katamu, karena kebaikan sikapmu, dan karena kedekatanmu denganNYA, dengan sang Maha Pencipta”
Pernyataan mas Fahri mengejutkan semua yang ada disana termasuk aku. Kecuali Umi Sarah dan Aba Ahmad yang terlihat santai dengan pernyataan yang diucapkan putranya.
Seketika itu ukhti Ila menoleh ke arahku. Mungkin ukhti Ila mengakhawatirkan perasaanku. Tapi aku tersenyum pada ukhti Ila, pertanda aku mendukung sekali dan akan menjadi orang yang paling bahagia jika Ukhti Ila menerima pinanangan Mas Fahri. Ukhti Ila yang mengerti akan makna senyumannku langsung mengatakan sesuatu.
“Jika memang kita di takdirkan untuk bersama, insyaAllah aku bersedia”
Kalimat yang di ucapkan Ukhti Ila membuat semua yang ada disana tersenyum bahagia. Ukhti Ila berlari mendekatiku, kemudian memelukku dengan tangis bahagianya.
“Syukron Nisa…”
Sungguh indah kebesaranMU YaRobb
Dan indahnya itu hanya KAU yang tau
Ku yakin akan semua takdirMU
Termasuk jodohku
Jika mas Fahri bukanlah cinta yang KAU pilih untukku
Ku yakin KAU telah siapkan yang lebih indah dari itu
Dan ku percaya
Semua kan hadir atas izinMU
Kelak jika KAU berkehendak
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentar dengan sopan dan bijaksana